Dimuat di Republika, 11 November 2018
Dengan penuh
rasa penasaran kutunggui lingkaran kecil bertuliskan loading yang terus berputar
di layar komputer. Aku sudah tidak sabar hendak membaca email yang dimaksud
Taro San. Tadi pagi ia berkata ada Sebuah email yang memintaku menjemput sebuah
paket spesial di sebuah alamat. Hatiku berdegup senang, walau di sisi lai aku
merasa bingung siapa orang yang mengirim pesan itu.
Saat email
terbuka, aku langsung membacanya dengan seksama, “Kami berharap paket ini
diambil secara langsung oleh pegawai anda bernama Joko, orang Indonesia, di
alamat yang kami cantumkan. Ongkos tambahan atas pelayanan ini akan kami
bayarkan pada saat pengambilan barang, arigatou gozaimas.”
“Mungkin kau
pernah mengantar sebuah kiriman ke seorang gadis, kemudian dia jatuh hati
padamu Joko San,” goda Taro San sambil tertawa.
Ku abaikan
candaannya dan kembali fokus membaca alamat si pengirim. Sejenak kemudian
senyumku mengembang. Aku tahu alamat ini. Tentu saja. Ini adalah alamat nenek
yang pernah kutemui bulan lalu.
Aku masih
ingat, pada hari itu matahari musim panas bersinar lebih terik dari biasanya.
Ditambah lagi mood-ku sedang tidak baik, setelah permohonanku untuk
pindah kewarganegaraan kembali ditolak pihak imigrasi Tokyo. Semua hal tersebut
cukup membuat aku ingin segera menyelesaikan tugas hari itu dan kembali ke ruang
kantor yang sejuk. Namun sayang, sebuah
paket masih teronggok di dalam mobil menunggu untuk diantarkan.
Alamat di paket
itu menuju ke sebuah apartemen kecil di pinggir kota Tokyo. Beberapa lansia terlihat
sedang menjemur pakaian di luar jendela apartemen. Dengan cepat, aku berkesimpulan
bahwa ini adalah apartemen bersubsidi yang disediakan pemerintah untuk para
pensiunan.
“Ting tong!
Sumimashen,”
kupencet bel di sebelah pintu. Tidak ada jawaban atau tanda keberadaan pemilik
rumah. Aku sudah bersiap untuk menaruh paket tersebut di kotak pos, sebelum
kemudian sebuah suara langkah diseret dan gagang diputar terdengar dari balik
pintu.
“Gomenashai,
tadi saya di kamar mandi,” seorang wanita berusia 70-an muncul dari balik pintu
sambil merunduk meminta maaf.
“Daijobu,
ini ada paket untuk anda,” aku berusaha tetap tersenyum.
“Arigatou! Eh tunggu dulu, apakah anda orang Indonesia?” sambil
memperbaiki posisi kacamatanya, nenek tersebut memandangi wajahku dari dekat.
Dilihat dan
ditanya seperti itu tentu saja membuatku terkejut dan jengah.“Haik, saya
orang Indonesia,” aku mengangguk.
“Sugoi nee!
saya juga orang Indonesia, nama saya Sumini,” nenek itu berteriak girang
sambil menyalami tanganku dan mulai berbicara dengan bahasa Indonesia. Pantas
saja aku merasa wajah nenek tersebut berbeda dengan orang Jepang pada umumnya.
“Nama saya Joko!”
Aku tersenyum canggung, bingung harus bereaksi seperti apa dalam situasi
seperti ini.
“Ah, wakata!Joko,
kamu adarah orang Indonesia pertama yang mengunjungi apartemen ini dalam
waktu dua puruh tahun terakhir.” Aku berusaha menahan senyum, sedikit
lucu mendengar Nek Sumini berbicara bahasa Indonesia dengan aksen Jepang.
Sepertinya ia sudah terlalu lama tidak menggunakan bahasa Indonesia. Beberapa
huruf ‘L’ bahkan tertukar dengan huruf ‘R’, sesuatu yang menjadi
ciri khas aksen Jepang. “Kamu mau minum teh duru? Apa itu bahasa
Indonesianya? Ah, siraturahmi! Kamu mau siraturahmi di daram terlebih
dahuru?”
Meski aku sudah
sangat penat, namun demi melihat wajah girang Nek Sumini aku sungkan untuk
menolak. Lagipula tidak ada salahnya minum teh sebentar. Aku mengangguk setuju.
Nenek Sumini girang bukan kepalang. Dengan langkah tertatih-tatih ia langsung
menarik tanganku untuk masuk ke dalam.
Apartemen itu
berukuran tidak terlalu besar, cocok untuk lansia. Di bagian ruang tengah yang
menyatu dengan dapur, aku melihat berbagai dekorasi khas Indonesia. Di dinding
aku melihat sebuah kalender lawas bergambar tugu Yogya dan bertuliskan 1987. Di
atas televisi aku melihat foto mantan presiden ke-2 Indonesia yang bersisian
dengan gambar burung garuda. Sementara di atas meja, sebuah tape lawas dengan
merdu mengalunkan suara indah Kang Ebiet. Aku merasa seperti di kampung.
Dimulai dengan
secangkir teh melati, obrolan kemudian mulai mengalir dengan ringan. Tentu saja
Nenek Sumini yang lebih banyak bercerita dan aku memilih menjadi pendengar yang
baik. Tiga puluh tahun lebih meninggalkan tanah air membuat Nenek Sumini
kenyang dengan pengalaman yang menarik. Walau baru saja bertemu, tapi aku senang mendengar
cerita-ceritanya.
“ Apakah nenek tidak rindu dengan Indonesia?,”
tanyaku.
“Tentu aku
rindu. Kalau boleh jujur, aku sangat ingin kembari ke tanah air.”
Jawabnya sambil menyeruput teh dari gelasnya.
“Bukankah
disini lebih enak Nek? Segalanya berjalan dengan disiplin dan nyaman.”
“Kau tahu apa
yang aneh Ko. Terkadang ketidak teraturan masyarakat Indonesialah yang membuat
aku rindu. Di tengah kesemrawutan kita tersisip basa-basi dan candaan. Di
tengah kemiskinan dan kesusahan, ada rasa saling tolong menolong dan bekerja
sama.” Ucapnya sambil menuangkan kembali teh ke dalam cangkirku yang sudah
kosong.
“Dan kau tahu
apa lagi Ko, aku sedikit bosan dengan suasana teratur disini,” Nenek Sumini
mengecilkan suaranya seolah takut ucapannya didengar oleh orang lain.
“Terkadang aku rindu detail kecil Indonesia kita. Sederhana saja, seperti
tetangga yang kerap mengunjungi, bercengkrama di warung dekat rumah, atau
rutinitas menggosip para ibu di sore hari,” ucapnya yang membuat kami tertawa
bersama. Sebelum kemudian ia batuk sambil memegang dada. Spontan aku
mengambilkan minum untuknya.
Setelah batuknya
mereda, aku menanyakan hal yang sedari tadi menggelitik pikiranku.“Kalau
begitu, mengapa nenek tidak pulang saja ke tanah air?”
Air muka Nenek
Sumini langsung berubah. Suasana menjadi hening. Ia diam, tidak segera
melanjutkan jawabannya. Aku merutuk dalam hati karena telah melontarkan
pertanyaan sensitif seperti itu.
“Aku tidak punya uang untuk pulang Ko. Sejak
kematian suamiku empat tahun yang raru, aku hidup sendiri dari menjadi
pengasuh anak. Tabungan? Semuanya sudah habis untuk biaya rumah sakit suamiku,”
mata Nenek Sumini mulai berkaca-kaca. “Ragipura, untuk apa purang?
Semua orang yang kukenar mungkin kini sudah tiada,” Ia mencoba untuk
tersenyum, meski terlihat sedikit dipaksakan.
Rasa simpati
muncul dalam hatiku. Nenek Sumini bagai orang tua di persimpangan jalan. Ia terjebak
di antara masa lalu yang indah di kampung halaman, masa sekarang yang sulit di
kampung orang, dan masa depan yang pasti dengan menunggu kematian.
Saat itu waktu terasa
berjalan begitu cepat. Tanpa kusadari, jarum pendek telah menuju angka dua. Aku
harus kembali ke kantor, sebelum Taro San marah dan memotong gajiku. Walau
sebenarnya aku masih ingin berada disini.
“Terimakasih Joko, sering-seringlah
datang kesini. Lain kali aku akan memasak sayur rodeh,” ujar Nenek
Sumini sembari melambaikan tangan.
Mendengar itu aku tertawa, pasti yang dimaksud nenek adalah sayur lodeh.
Aku balas melambaikan tangan sambil mengangguk.
***
Satu bulan
berlalu, kesibukan kerja belum memberikan aku waktu untuk kembali mengunjungi
Nenek Sumini. Meskipun begitu, sebenarnya aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah
spesial untuknya.
Siang ini, sebelum
mengambil paket spesial di rumah Nenek, aku pulang terlebih dahulu untuk
mengambil hadiah yang telah aku siapkan. Hadiah itu adalah sebuah tiket pesawat
pulang pergi ke Indonesia. Sementara untuk akomodasi, aku telah meminta adikku
untuk mengurus keperluan nenek selama di tanah air.
Demi membeli
tiket ini aku harus mengikhlaskan satu bulan gajiku. Sedikit berat memang,
namun entah mengapa hati kecilku berbisik bahwa aku harus melakukannya. Aku
senang bila bisa membantu mengobati
kerinduan Nenek Sumini kepada negerinya.
Sesampainya di
apartemen itu, aku langsung menekan bel. Terdengar suara langkah kaki mendekat
dari balik pintu. Gagang pintu terputar dan mulai terbuka.
“Kejutan!”
teriakku sambil menunjukkan selembar tiket di tanganku.
“Hee, nani??”
seorang lansia bermata sipit yang muncul dari balik pintu terlihat kebingungan.
Aku heran, mengapa yang membuka pintu bukan Nenek Sumini. Ku cocokkan kembali
nomor rumah dengan alamat yang ada dalam catatanku. Persis, tidak ada yang
berbeda.
“Gomenashai!
maaf mengejutkan anda. Apakah Nyonya Sumini ada di rumah? Saya ingin menjemput
paket,” sambil menunduk, aku meminta maaf dalam bahasa Jepang.
“Ah, wakata!
Kamu Joko kan, tunggu sebentar!”Perempuan bermata sipit itu masuk ke dalam
dan kemudian kembali sambil membawa sebuah kotak kayu berukir bunga sakura.
“Sumini sudah
meninggal minggu lalu karena sakit paru-parunya. Ini adalah abu jasadnya dan
selembar surat untukmu. Kami minta maaf tidak bisa menguburkannya sesuai
agamanya, karena itu sangat sulit dilakukan disini.,” sambil menitikkan air
mata dia menyerahkan kotak tersebut beserta selembar surat.
Aku terkejut. Dalam
kondisi masih tidak percaya, aku mulai membaca lembar surat itu. “Nak Joko,
maaf merepotkanmu. Tapi aku tidak punya siapapun untuk kumintai tolong. Jika
aku mati, aku ingin abu jasadku kau simpan dan bawalah ke tanah air saat kau
pulang suatu saat nanti. Meski aku sudah menghabiskan hampir separuh hidupku di
tanah orang, tetapi Aku ingin abuku dikubur di tanah kelahiranku. Tanah yang
selalu kurindukan sepanjang perantauanku, Indonesia. Aku mohon dengan
sangat kepadamu. wassalam”
Tiket yang telah kugenggam di
tangan, kembali kumasukkan ke dalam saku. Seketika, bayangan wajah Nenek Sumini
muncul dalam benakku. Wajahnya tersenyum sendu menunjukkan ekspresi merindu. Dengan
punggung tangan aku usap mataku yang sudah basah. Tenang saja Nek! paket
terakhir darimu akan kuantarkan dengan tanganku sendiri. Kita berdua akan
kembali ke Indonesia, bersama-sama.