Rabu, 14 November 2018

Paket Terakhir

Paket Terakhir ilustrasi Rendra Purnama/Republika
Dimuat di Republika, 11 November 2018

Dengan penuh rasa penasaran kutunggui lingkaran kecil bertuliskan loading yang terus berputar di layar komputer. Aku sudah tidak sabar hendak membaca email yang dimaksud Taro San. Tadi pagi ia berkata ada Sebuah email yang memintaku menjemput sebuah paket spesial di sebuah alamat. Hatiku berdegup senang, walau di sisi lai aku merasa bingung siapa orang yang mengirim pesan itu.

Saat email terbuka, aku langsung membacanya dengan seksama, “Kami berharap paket ini diambil secara langsung oleh pegawai anda bernama Joko, orang Indonesia, di alamat yang kami cantumkan. Ongkos tambahan atas pelayanan ini akan kami bayarkan pada saat pengambilan barang, arigatou gozaimas.”

“Mungkin kau pernah mengantar sebuah kiriman ke seorang gadis, kemudian dia jatuh hati padamu Joko San,” goda Taro San sambil tertawa.

Ku abaikan candaannya dan kembali fokus membaca alamat si pengirim. Sejenak kemudian senyumku mengembang. Aku tahu alamat ini. Tentu saja. Ini adalah alamat nenek yang pernah kutemui bulan lalu.

Aku masih ingat, pada hari itu matahari musim panas bersinar lebih terik dari biasanya. Ditambah lagi mood-ku sedang tidak baik, setelah permohonanku untuk pindah kewarganegaraan kembali ditolak pihak imigrasi Tokyo. Semua hal tersebut cukup membuat aku ingin segera menyelesaikan tugas hari itu dan kembali ke ruang kantor yang sejuk. Namun sayang,  sebuah paket masih teronggok di dalam mobil menunggu untuk diantarkan.

Alamat di paket itu menuju ke sebuah apartemen kecil di pinggir kota Tokyo. Beberapa lansia terlihat sedang menjemur pakaian di luar jendela apartemen. Dengan cepat, aku berkesimpulan bahwa ini adalah apartemen bersubsidi yang disediakan pemerintah untuk para pensiunan.

Ting tong! Sumimashen[1],” kupencet bel di sebelah pintu. Tidak ada jawaban atau tanda keberadaan pemilik rumah. Aku sudah bersiap untuk menaruh paket tersebut di kotak pos, sebelum kemudian sebuah suara langkah diseret dan gagang diputar terdengar dari balik pintu.

Gomenashai[2], tadi saya di kamar mandi,” seorang wanita berusia 70-an muncul dari balik pintu sambil merunduk meminta maaf.

Daijobu[3], ini ada paket untuk anda,” aku berusaha tetap tersenyum.

“Arigatou! Eh tunggu dulu, apakah anda orang Indonesia? sambil memperbaiki posisi kacamatanya, nenek tersebut memandangi wajahku dari dekat.

Dilihat dan ditanya seperti itu tentu saja membuatku terkejut dan jengah.“Haik, saya orang Indonesia,” aku mengangguk.

Sugoi nee[4]! saya juga orang Indonesia, nama saya Sumini,” nenek itu berteriak girang sambil menyalami tanganku dan mulai berbicara dengan bahasa Indonesia. Pantas saja aku merasa wajah nenek tersebut berbeda dengan orang Jepang pada umumnya.

“Nama saya Joko!” Aku tersenyum canggung, bingung harus bereaksi seperti apa dalam situasi seperti ini.

Ah, wakata![5]Joko, kamu adarah orang Indonesia pertama yang mengunjungi apartemen ini dalam waktu dua puruh tahun terakhir.” Aku berusaha menahan senyum, sedikit lucu mendengar Nek Sumini berbicara bahasa Indonesia dengan aksen Jepang. Sepertinya ia sudah terlalu lama tidak menggunakan bahasa Indonesia. Beberapa huruf ‘L’ bahkan tertukar dengan huruf ‘R’, sesuatu yang menjadi ciri khas aksen Jepang. “Kamu mau minum teh duru? Apa itu bahasa Indonesianya? Ah, siraturahmi! Kamu mau siraturahmi di daram terlebih dahuru?”

Meski aku sudah sangat penat, namun demi melihat wajah girang Nek Sumini aku sungkan untuk menolak. Lagipula tidak ada salahnya minum teh sebentar. Aku mengangguk setuju. Nenek Sumini girang bukan kepalang. Dengan langkah tertatih-tatih ia langsung menarik tanganku untuk masuk ke dalam.
         
  Apartemen itu berukuran tidak terlalu besar, cocok untuk lansia. Di bagian ruang tengah yang menyatu dengan dapur, aku melihat berbagai dekorasi khas Indonesia. Di dinding aku melihat sebuah kalender lawas bergambar tugu Yogya dan bertuliskan 1987. Di atas televisi aku melihat foto mantan presiden ke-2 Indonesia yang bersisian dengan gambar burung garuda. Sementara di atas meja, sebuah tape lawas dengan merdu mengalunkan suara indah Kang Ebiet. Aku merasa seperti di kampung.

Dimulai dengan secangkir teh melati, obrolan kemudian mulai mengalir dengan ringan. Tentu saja Nenek Sumini yang lebih banyak bercerita dan aku memilih menjadi pendengar yang baik. Tiga puluh tahun lebih meninggalkan tanah air membuat Nenek Sumini kenyang dengan pengalaman yang menarik. Walau baru saja  bertemu, tapi aku senang mendengar cerita-ceritanya.

 “ Apakah nenek tidak rindu dengan Indonesia?,” tanyaku.

“Tentu aku rindu. Kalau boleh jujur, aku sangat ingin kembari ke tanah air.” Jawabnya sambil menyeruput teh dari gelasnya.

“Bukankah disini lebih enak Nek? Segalanya berjalan dengan  disiplin dan nyaman.”

“Kau tahu apa yang aneh Ko. Terkadang ketidak teraturan masyarakat Indonesialah yang membuat aku rindu. Di tengah kesemrawutan kita tersisip basa-basi dan candaan. Di tengah kemiskinan dan kesusahan, ada rasa saling tolong menolong dan bekerja sama.” Ucapnya sambil menuangkan kembali teh ke dalam cangkirku yang sudah kosong.

“Dan kau tahu apa lagi Ko, aku sedikit bosan dengan suasana teratur disini,” Nenek Sumini mengecilkan suaranya seolah takut ucapannya didengar oleh orang lain. “Terkadang aku rindu detail kecil Indonesia kita. Sederhana saja, seperti tetangga yang kerap mengunjungi, bercengkrama di warung dekat rumah, atau rutinitas menggosip para ibu di sore hari,” ucapnya yang membuat kami tertawa bersama. Sebelum kemudian ia batuk sambil memegang dada. Spontan aku mengambilkan minum untuknya.

Setelah batuknya mereda, aku menanyakan hal yang sedari tadi menggelitik pikiranku.“Kalau begitu, mengapa nenek tidak pulang saja ke tanah air?”

Air muka Nenek Sumini langsung berubah. Suasana menjadi hening. Ia diam, tidak segera melanjutkan jawabannya. Aku merutuk dalam hati karena telah melontarkan pertanyaan sensitif seperti itu.

 “Aku tidak punya uang untuk pulang Ko. Sejak kematian suamiku empat tahun yang raru, aku hidup sendiri dari menjadi pengasuh anak. Tabungan? Semuanya sudah habis untuk biaya rumah sakit suamiku,” mata Nenek Sumini mulai berkaca-kaca. “Ragipura, untuk apa purang? Semua orang yang kukenar mungkin kini sudah tiada,” Ia mencoba untuk tersenyum, meski terlihat sedikit dipaksakan.

Rasa simpati muncul dalam hatiku. Nenek Sumini bagai orang tua di persimpangan jalan. Ia terjebak di antara masa lalu yang indah di kampung halaman, masa sekarang yang sulit di kampung orang, dan masa depan yang pasti dengan menunggu kematian.

Saat itu waktu terasa berjalan begitu cepat. Tanpa kusadari, jarum pendek telah menuju angka dua. Aku harus kembali ke kantor, sebelum Taro San marah dan memotong gajiku. Walau sebenarnya aku masih ingin berada disini.

“Terimakasih Joko, sering-seringlah datang kesini. Lain kali aku akan memasak sayur rodeh,” ujar Nenek Sumini sembari melambaikan tangan.  Mendengar itu aku tertawa, pasti yang dimaksud nenek adalah sayur lodeh. Aku balas melambaikan tangan sambil mengangguk.
***
Satu bulan berlalu, kesibukan kerja belum memberikan aku waktu untuk kembali mengunjungi Nenek Sumini. Meskipun begitu, sebenarnya aku sudah mempersiapkan sebuah hadiah spesial untuknya.

Siang ini, sebelum mengambil paket spesial di rumah Nenek, aku pulang terlebih dahulu untuk mengambil hadiah yang telah aku siapkan. Hadiah itu adalah sebuah tiket pesawat pulang pergi ke Indonesia. Sementara untuk akomodasi, aku telah meminta adikku untuk mengurus keperluan nenek selama di tanah air.

Demi membeli tiket ini aku harus mengikhlaskan satu bulan gajiku. Sedikit berat memang, namun entah mengapa hati kecilku berbisik bahwa aku harus melakukannya. Aku senang bila bisa membantu  mengobati kerinduan Nenek Sumini kepada negerinya.

Sesampainya di apartemen itu, aku langsung menekan bel. Terdengar suara langkah kaki mendekat dari balik pintu. Gagang pintu terputar dan mulai terbuka.

“Kejutan!” teriakku sambil menunjukkan selembar tiket di tanganku.

Hee, nani??[6]” seorang lansia bermata sipit yang muncul dari balik pintu terlihat kebingungan. Aku heran, mengapa yang membuka pintu bukan Nenek Sumini. Ku cocokkan kembali nomor rumah dengan alamat yang ada dalam catatanku. Persis, tidak ada yang berbeda.

Gomenashai! maaf mengejutkan anda. Apakah Nyonya Sumini ada di rumah? Saya ingin menjemput paket,” sambil menunduk, aku meminta maaf dalam bahasa Jepang.

Ah, wakata! Kamu Joko kan, tunggu sebentar!”Perempuan bermata sipit itu masuk ke dalam dan kemudian kembali sambil membawa sebuah kotak kayu berukir bunga sakura.

“Sumini sudah meninggal minggu lalu karena sakit paru-parunya. Ini adalah abu jasadnya dan selembar surat untukmu. Kami minta maaf tidak bisa menguburkannya sesuai agamanya, karena itu sangat sulit dilakukan disini.,” sambil menitikkan air mata dia menyerahkan kotak tersebut beserta selembar surat.

Aku terkejut. Dalam kondisi masih tidak percaya, aku mulai membaca lembar surat itu. “Nak Joko, maaf merepotkanmu. Tapi aku tidak punya siapapun untuk kumintai tolong. Jika aku mati, aku ingin abu jasadku kau simpan dan bawalah ke tanah air saat kau pulang suatu saat nanti. Meski aku sudah menghabiskan hampir separuh hidupku di tanah orang, tetapi Aku ingin abuku dikubur di tanah kelahiranku. Tanah yang selalu kurindukan sepanjang perantauanku, Indonesia. Aku mohon dengan sangat kepadamu. wassalam

Tiket yang telah kugenggam di tangan, kembali kumasukkan ke dalam saku. Seketika, bayangan wajah Nenek Sumini muncul dalam benakku. Wajahnya tersenyum sendu menunjukkan ekspresi merindu. Dengan punggung tangan aku usap mataku yang sudah basah. Tenang saja Nek! paket terakhir darimu akan kuantarkan dengan tanganku sendiri. Kita berdua akan kembali ke Indonesia, bersama-sama.



[1] permisi
[2] maaf
[3] Tidak apa apa
[4] luar biasa!
[5] Ah, saya paham-saya paham
[6] Hah, apa?

Sabtu, 09 Juni 2018

Melihat Kemungkinan Al-Qur’an dikarang Muhammad SAW



Tulisan ini terinspirasi dari sebuah pertanyaan yang saya dapatkan pada dua kesempatan yang berbeda. Pertama adalah ketika saya berada di Thailand, saya ditanya oleh seorang teman yang atheis dari vietnam. Kali kedua adalah ketika di Jepang, kali ini yang bertanya adalah seorang teman dari Thailand, dia adalah seorang agnostik yakni percaya Tuhan tapi tidak percaya agama. Pertanyaan dari keduanya sama,
.
 “Alim, why do you believe in this book (sambil menunjuk Al-Qur’an)?, why do you believe in Islam?”.
.
Sontak, tentu saja saya terkejut dan kebingungan menjawabnya. Saya tentu tidak bisa menggunakan dalil Al-Qur’an dan hadist untuk menjelaskan kepada mereka, karena mereka tidak percaya keduanya. Saat itu saya hanya menjawab spontan, “I believe this holy book (Al-Qur’an) and this religion (Islam), because it doesn’t violate my logic. For me, religion should be match with my logic. And most logic religion for me is Islam.”
.
Mungkin jawaban saya pada saat itu ada benarnya. Tapi saya masih kurang puas dan mencari jawaban yang lebih tepat. Karena persoalan mempercayai Al-Qur’an adalah sesuatu yang sangat dasar dalam aqidah kita. Ketika kita mulai tidak mempercayai Al-Qur’an, maka keraguan itu akan berimbas pada keraguan lainnya terhadap seluruh turunan Al-Qur’an berupa ajaran tauhid, syariat, dan muamalah. Sebaliknya, apabila seseorang sudah meyakini dengan haqqul yakin bahwa Alqur’an datang dari Tuhan, maka ia akan dengan sukarela mengikuti petunjuk di dalamnya..
.
Setelah mencari, akhirnya saya menemukan jawaban itu dalam Al-Qur’an itu sendiri. Untuk pertanyaan semacam ini, Al-Qur’an menjawab dengan tegas, singkat, dan padat, namun hebatnya belum terbantahkan selama 14 abad Al-Qur’an diturunkan.
.
Dalam surah Al-Baqarah ayat 23, Allah berfirman, “dan jika kamu ragu dengan apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat seperti itu (Al-Qur’an), dan mintalah pertolongan (seluruh makhluq) selain Allah jika kamu orang yang benar. Tetapi jika kamu tidak bisa, dan kamu memang tidak akan pernah bisa, maka takutlah dengan api neraka yang disediakan bagi orang kafir.”
.
Dalam ayat ini, Allah menjamin kebenaran Al-Qur’an bukan dengan sebuah argumentasi, tapi justru dengan sebuah tantangan terbuka. Bahkan Allah mempersilahkan agar seluruh makhluk bergotong royong menjawab tantangan Allah ini. Dan yang paling hebatnya lagi Allah dengan tegas, yakin, dan sombong (dan Allah sangat berhak untuk sombong) mengatakan bahwa tantangan ini tidak akan bisa dilakukan oleh siapapun dan sampai kapanpun.
.
Maka pertanyaan besar muncul di kepala kita, apa benar tidak ada yang bisa menjawab tantangan ini? Yang benar saja, 14 abad lebih tidak ada yang bisa membantah ayat ini?
.
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita memposisikan diri sebagai pihak yang ingin menjawab tantangan itu. Dalam ilmu teknik, untuk menyaingi suatu produk kita perlu tahu apa kelebihan produk tersebut, dan kemudian menganalisa apakah kita mungkin menyamainya atau tidak.
.
Mari kita lihat Al-Qur’an. Ada banyak kelebihan yang dimiliki Al-Qur’an menjadi sebuah kitab yang luar biasa. Namun cukup beberapa saja yang akan dibahas disini,
.
1. Al-Qur’an memiliki bahasa yang indah dengan kadar sastra arab yang sangat tinggi. Bahkan masyarakat Arab abad ke-7 sekalipun yang menguasai syair terpukau dengan rangkaian kalimat dalam Al-Qur’an.
.
2. Al-Qur’an menawarkan konsep adab, hukum, ekonomi, dan ilmu sosial masyarakat atau kita kenal dengan muamalah yang membawa kesejahteraan dan keadilan sosial. Konsep Muamalah dan adab yang ditawarkan Al-Qur’an tidak bisa diremehkan, karena telah terbukti dapat membuat suatu peradaban terhebat dalam sejarah umat manusia.
.
3. Al-Qur’an mengandung banyak ilmu sains, yang sebagian baru diketahui manusia berabad-abad kemudian. Memang Al-Qur’an tidak menjabarkan secara rinci. Tapi Al-Qur’an cukup menyebutkan bagian penting dari berbagai bidang ilmu, geologi, biologi, material, kimia dan lainnya sebagai bukti kebesarannya.
.
4. Al-Qur’an mengandung khabar shadiq, berita benar yang terbukti berabad-abad setelah ia diturunkan. Salah dua contohnya adalah, Kemenangan romawi atas persia dan ditemukannya mayat Fir’aun.
.
5. Al-qur’an disusun dengan sangat teratur dan dengan pemilihan kata yang tepat dan efisien, namun tanpa mengurangi keindahannya.
Setiap ayat dalam Al-Qur’an bisa diambil hikmahnya. Bahkan tidak ada satu kata pun dalam Al-Qur’an yang ditaruh tanpa alasan, semuanya memiliki hikmah yang bisa diambil.
.
6. Belum ada yang berhasil membuktikan satu kesalahanpun dalam Al-Qur’an sejak ia diturunkan. Atau zero tolerance of fault.
.
Masih banyak lagi sebenarnya kebesaran Al-Qur’an yang tidak akan habis disebutkan satu persatu. Tapi cukuplah beberapa hal di atas untuk menjadi landasan analisis kita, bagaimana jika kita hendak menjawab tantangan Allah tadi?
.
 Maka untuk merekonstruksi sesuatu seperti Al-Qur’an kita perlu :
1. Mengumpulkan para ahli sains dan membuat beberapa prediksi ilmu pengetahuan yang belum ditemukan saat ini dan pasti akan dibuktikan kebenarannya di masa mendatang.
2. Para ahli hukum, ekonomi, dan adab harus merumuskan sebuah sistem kemasyarakatan yang orisinil yang bisa mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat. Konsep yang ditawarkan tidak boleh ada kecacatan apabila dijalankan.
3. Para ahli filsafat harus merumuskan konsep ketuhanan yang tidak terbantahkan.
.
Melakukan ketiga hal di atas, adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Namun itu belum seberapa,
4. Para ahli sastra harus merangkum seluruh ilmu tersebut dalam bahasa yang sederhana (tidak bertele-tele dan mudah dipahami), padat (harus efektif, tidak boleh ada pemborosan kata), dan juga indah (penuh dengan unsur sastra yang tinggi dan enak didengar maupun dibaca). Dan yang paling penting dalam urutan yang sistematis dan runut dari awal hingga akhir.
5. Para ahli psikologi harus memilihkan bahasa yang mudah dihafal dan mudah dipelajari, karena itu sifat Al-Qur’an.
Jika dilihat dari job list di atas, maka membuat sesuatu yang serupa Al-Qur’an adalah hal yang sangat rumit dan melelahkan. Mungkin akan membutuhkan waktu puluhan tahun lamanya.
Jika ditambah dengan kriteria mengandung unsur
6. khabar shadiq (kabar yang benar)
7.dan zero tolerance of fault (tidak boleh ada kesalahan sedikitpun),
maka membuat sesuatu serupa Al-Qur’an menjadi hal yang mustahil.
.
Maka sesungguhnya tuduhan kaum orientalis bahwa Al-Qur’an merupakan karangan Muhammad SAW sendiri bukan sebuah hinaan, tetapi pujian berlebihan kepada Muhammad SAW. Karena apabila benar Muhammad SAW yang membuat Al-Qur’an, tidak terbayangkan betapa jeniusnya Muhammad SAW bisa membuat kitab sehebat Al-Qur’an. Apalagi jika hanya seorang diri.
.
Tapi tentunya itu tidak mungkin. Nabi Muhammad SAW memang hebat dan jenius. Tapi tidak akan mampu mengarang sesuatu seperti Al-Qur’an. Apalagi jika melihat latar belakang Rasulullah yang seorang ummiy dan belum pernah belajar ke negeri lain selain makkah.
.
 Sesuatu yang sempurna seperti kitab ini hanya bisa diciptakan oleh dzat yang Maha Sempurna, Allah SWT.
.
Dalam surah An Najm ayat 3-4, disebutkan...
“Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain adalah wahyu yang diturunkan kepadanya.”
.
Jadi, dengan semua hal di atas masih ragu kalau Al-Qur’an datang dari Allah SWT?


Jumat, 01 Juni 2018

Sudah Lebih dari 14 Abad, Masihkah Al-Qur’an Relevan untuk Masyarakat Zaman Now?

Hari ini bertepatan dengan lahirnya Pancasila pada 1 juni 2018, ada pula momentum lain yang tidak kalah sakralnya bagi umat Islam, yaitu malam nuzulul Qur’an yang jatuh pada tanggal 17 Ramadhan. Jika ditarik kebelakang, berarti Al-Qur’an telah diturunkan ke bumi sejak 1462 tahun yang lalu. Maka sebuah pertanyaan besar yang muncul adalah, dengan usianya yang sudah lebih dari 14 abad itu, masihkah Al-Qur’an relevan untuk dijadikan pedoman hidup manusia, bahkan untuk skala yang lebih besar menjadi pedoman hidup masyarakat Indonesia dan Dunia.
.
Untuk menjawab hal tersebut ada baiknya terlebih dahulu kita melihat keadaan dunia kita saat ini. Dari segi politik, terjadinya hegemoni beberapa negara terhadap sebagian besar dunia. Yang lebih menyedihkan lagi, persaingan dari beberapa negara itu menyebabkan conflict of interest di berbagai tempat yang berujung perang dan kematian jutaan orang tak berdosa. Sementara dari segi ekonomi, tidak jauh berbeda ketimpangan antara negara kaya dengan negara lainnya semakin hari semakin jauh. Bahkan mekanisme hutang untuk pembangunan yang diciptakan setelah PD ke 2, membuat jurang itu semakin lebar dan dalam. 
.
Apabila kita mengecilkan teropong, permasalahan dalam negara kitapun tidak kalah rumitnya. Ketimpangan ekonomi, kriminalitas, korupsi, dan berbagai permasalahan lainnya seakan menjadi penyakit akut bagi negeri ini.
.
Jika dilihat secara menyeluruh, seluruh permasalahan ini berakar dari satu permasalahan yang besar yaitu kebingungan akan ‘nilai’. Dalam paham sekularisme atau ajaran tanpa agama yang saat ini dianut oleh sebagian besar dunia, termasuk Indonesia (walau tidak eksplisit, namun gejalanya sudah terlihat jelas), nilai adalah konstruksi masyarakat akan sesuatu yang dianggap baik. Maka dalam masyarakat yang berbeda akan terdapat nilai yang berbeda pula. 
Meskipun kaum sekuler tetap berdalih bahwa nilai ‘kemanusiaan’ adalah nilai yang dapat menyatukan semua manusia, namun tetap saja pada faktanya kemanusiaan menurut siapa yang dimaksud.
.
Hal ini terlihat jelas ketika pertentangan antar negara-negara besar di dunia, ketika Rusia memiliki nilai kebenaran menurut mereka dan USA memiliki nilai mereka sendiri pula maka yang terjadi adalah pertentangan antar nilai dan kerusakanlah ujungnya.
.
Imbas yang lebih parah kemudian terjadi apabila manusia yang seharusnya melaksanakan nilai-nilai itu, dengan mudahnya mengenyampingkannya dengan dalih bahwa nilai itu hanyalah konstruksi manusia. Harga ‘nilai’ itu di mata manusia menjadi tidak sakral, karena sesuatu yang dibuat oleh manusia bisa dan didebat oleh manusia yang lainnya. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat yang mudah melakukan korupsi, pergaulan bebas, dan rasisme. Ambil contoh generasi muda yang dengan ringannya tinggal berdua tanpa ikatan pernikahan karena menganggap pernikahan sebagai konstruksi masyarakat tua yang tidak relevan lagi.
.
Oleh karena itu teranglah, bahwa konsep masyarakat yang hidup dalam sekulerisme dan kebebasan relatif ini tidak dapat membawa umat manusia kedalam kesejahteraan bersama, bahkan menggiring manusia menuju kehancuran.
.
Maka kembali ke pertanyaan awal, masihkah Al-Qur’an relevan untuk menjadi pedoman hidup manusia saat ini, jawabannya dengan tegas adalah ‘Ya’, bahkan manusia sangat butuh dengan Al-Qur’an.

Umat manusia membutuhkan sebuah acuan kebenaran untuk menjadi pedoman hidupnya, atau apa yang kita sebut point of reference. Di dalam konsep masyarakat berbasis agama, kebenaran itu datang dari Tuhan sehingga posisi ‘nilai’ berada jauh di atas manusia. Dalam masyarakat seperti ini nilai menjadi tidak relatif dan tidak bersifat dinamis sesuai zaman, tetapi menjadi sebuah kebenaran mutlak yang akan tetap relevan mengikuti zaman. Bukan nilai yang menyesuaikan zaman, tapi zaman menyesuaikan nilai. Dalam konsep Islam ini dikenal sebagai shibgatallah, atau celupan Allah (Q.S Albaqarah).
.
Kemudian muncul pertanyaan lain, bagaimana Al-Qur’an bisa menjadi solusi dari 1001 permasalahan manusia di Indonesia dan dunia. Maka jawabannya telah dikemukakan oleh seorang tokoh Republik Indonesia, Bapak M. Natsir dalam sidang konstituante, “Al-Qur’an tidaklah mengatur 1001 permasalahan teknis masyarakat yang bisa berubah dari zaman ke zaman. Tapi Al-Qur’an memberikan nilai-nilai pokok yang sesuai dengan fitrah manusia, yang abadi dan tidak lekang oleh zaman, untuk kemudian dipakai manusia sebagai landasan menyelesaikan permasalahannya.”
.
Disini ada sebuah kaidah penting dalam Islam yang sangat indah bagi semua manusia, semua hal dalam muammalah (urusan sesama manusia) itu halal, kecuali ada dalil yang melarangnya. 
.
Sebagai contoh, manusia memiliki fitrah mencintai tanah air. Islam dalam hal ini juga mendukung itu sebagaimana Rasulullah SAW juga sangat mencintai makkah tempat lahirnya. Maka manusia boleh membuat peraturan dengan landasan cinta tanah air. Tapi rasa cinta tanah air yang seharusnya baik, bisa berubah menjadi chauvanisme dan rasialisme. Disini kemudian Al-Qur’an datang dengan kaidah ‘semua manusia sama, yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa’. Maka manusia harus berhenti pada batasan tidak boleh sampai merendahkan manusia lain.
.
Contoh lain, Islam mendorong umatnya untuk mencari harta dan nafkah. Maka silahkan manusia membuat ikhtiar dalam mencari nafkah. Tapi islam memberi batasan dengan larangan tidak menimbun harta, melakukan monopoli, memakan riba, dan juga tidak melupakan kaum miskin dan masyarakat yang membutuhkan. Maka ini adalah batasan yang tidak boleh dilangkahi manusia karena akan merusak diri mereka sendiri.
.
Maka dari itu, bukanlah Al-Qur’an akan mengekang manusia dari kebebasannya. Tetapi Al-Qur’an memberikan point of reference yang jelas sampai dimana kebebasan itu boleh dilakukan. Dan itulah yang sebenarnya dibutuhkan dunia saat ini.
.
Kemudian muncul pertanyaan lain, jika memang acuan terhadap nilai itu diperlukan. Mengapa harus Islam? Kenapa bukan agama lain. Untuk cakupan Indonesia jawabannya sudah sangat jelas, karena Islam adalah agama mayoritas dan semangatnya sudah mendarah daging di bumi Indonesia ini. Bisa dilihat dari pernyataan Bung Tomo, “jikalau bukan dengan kalimat Allahu Akbar, aku tidak tahu dengan kalimat apa aku bisa membangkitkan semangat anak-anak muda ini.” Itu menunjukkan bagaimana Islam begitu mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. 
.
Namun jika konteksnya adalah dunia, maka perlu diperbandingkan antar agama untuk mencari mana yang lebih tepat untuk menjawab tantangan zaman. Tapi saya yakin (dan ini hak saya untuk yakin karena saya seorang muslim) bahwa Islam tetap akan unggul dan paling relevan dengan keadaan zaman now.

(dibuat untuk khutbah di masjid At Taubah 1 Juni 2018)