Jumat, 01 Juni 2018

Sudah Lebih dari 14 Abad, Masihkah Al-Qur’an Relevan untuk Masyarakat Zaman Now?

Hari ini bertepatan dengan lahirnya Pancasila pada 1 juni 2018, ada pula momentum lain yang tidak kalah sakralnya bagi umat Islam, yaitu malam nuzulul Qur’an yang jatuh pada tanggal 17 Ramadhan. Jika ditarik kebelakang, berarti Al-Qur’an telah diturunkan ke bumi sejak 1462 tahun yang lalu. Maka sebuah pertanyaan besar yang muncul adalah, dengan usianya yang sudah lebih dari 14 abad itu, masihkah Al-Qur’an relevan untuk dijadikan pedoman hidup manusia, bahkan untuk skala yang lebih besar menjadi pedoman hidup masyarakat Indonesia dan Dunia.
.
Untuk menjawab hal tersebut ada baiknya terlebih dahulu kita melihat keadaan dunia kita saat ini. Dari segi politik, terjadinya hegemoni beberapa negara terhadap sebagian besar dunia. Yang lebih menyedihkan lagi, persaingan dari beberapa negara itu menyebabkan conflict of interest di berbagai tempat yang berujung perang dan kematian jutaan orang tak berdosa. Sementara dari segi ekonomi, tidak jauh berbeda ketimpangan antara negara kaya dengan negara lainnya semakin hari semakin jauh. Bahkan mekanisme hutang untuk pembangunan yang diciptakan setelah PD ke 2, membuat jurang itu semakin lebar dan dalam. 
.
Apabila kita mengecilkan teropong, permasalahan dalam negara kitapun tidak kalah rumitnya. Ketimpangan ekonomi, kriminalitas, korupsi, dan berbagai permasalahan lainnya seakan menjadi penyakit akut bagi negeri ini.
.
Jika dilihat secara menyeluruh, seluruh permasalahan ini berakar dari satu permasalahan yang besar yaitu kebingungan akan ‘nilai’. Dalam paham sekularisme atau ajaran tanpa agama yang saat ini dianut oleh sebagian besar dunia, termasuk Indonesia (walau tidak eksplisit, namun gejalanya sudah terlihat jelas), nilai adalah konstruksi masyarakat akan sesuatu yang dianggap baik. Maka dalam masyarakat yang berbeda akan terdapat nilai yang berbeda pula. 
Meskipun kaum sekuler tetap berdalih bahwa nilai ‘kemanusiaan’ adalah nilai yang dapat menyatukan semua manusia, namun tetap saja pada faktanya kemanusiaan menurut siapa yang dimaksud.
.
Hal ini terlihat jelas ketika pertentangan antar negara-negara besar di dunia, ketika Rusia memiliki nilai kebenaran menurut mereka dan USA memiliki nilai mereka sendiri pula maka yang terjadi adalah pertentangan antar nilai dan kerusakanlah ujungnya.
.
Imbas yang lebih parah kemudian terjadi apabila manusia yang seharusnya melaksanakan nilai-nilai itu, dengan mudahnya mengenyampingkannya dengan dalih bahwa nilai itu hanyalah konstruksi manusia. Harga ‘nilai’ itu di mata manusia menjadi tidak sakral, karena sesuatu yang dibuat oleh manusia bisa dan didebat oleh manusia yang lainnya. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat yang mudah melakukan korupsi, pergaulan bebas, dan rasisme. Ambil contoh generasi muda yang dengan ringannya tinggal berdua tanpa ikatan pernikahan karena menganggap pernikahan sebagai konstruksi masyarakat tua yang tidak relevan lagi.
.
Oleh karena itu teranglah, bahwa konsep masyarakat yang hidup dalam sekulerisme dan kebebasan relatif ini tidak dapat membawa umat manusia kedalam kesejahteraan bersama, bahkan menggiring manusia menuju kehancuran.
.
Maka kembali ke pertanyaan awal, masihkah Al-Qur’an relevan untuk menjadi pedoman hidup manusia saat ini, jawabannya dengan tegas adalah ‘Ya’, bahkan manusia sangat butuh dengan Al-Qur’an.

Umat manusia membutuhkan sebuah acuan kebenaran untuk menjadi pedoman hidupnya, atau apa yang kita sebut point of reference. Di dalam konsep masyarakat berbasis agama, kebenaran itu datang dari Tuhan sehingga posisi ‘nilai’ berada jauh di atas manusia. Dalam masyarakat seperti ini nilai menjadi tidak relatif dan tidak bersifat dinamis sesuai zaman, tetapi menjadi sebuah kebenaran mutlak yang akan tetap relevan mengikuti zaman. Bukan nilai yang menyesuaikan zaman, tapi zaman menyesuaikan nilai. Dalam konsep Islam ini dikenal sebagai shibgatallah, atau celupan Allah (Q.S Albaqarah).
.
Kemudian muncul pertanyaan lain, bagaimana Al-Qur’an bisa menjadi solusi dari 1001 permasalahan manusia di Indonesia dan dunia. Maka jawabannya telah dikemukakan oleh seorang tokoh Republik Indonesia, Bapak M. Natsir dalam sidang konstituante, “Al-Qur’an tidaklah mengatur 1001 permasalahan teknis masyarakat yang bisa berubah dari zaman ke zaman. Tapi Al-Qur’an memberikan nilai-nilai pokok yang sesuai dengan fitrah manusia, yang abadi dan tidak lekang oleh zaman, untuk kemudian dipakai manusia sebagai landasan menyelesaikan permasalahannya.”
.
Disini ada sebuah kaidah penting dalam Islam yang sangat indah bagi semua manusia, semua hal dalam muammalah (urusan sesama manusia) itu halal, kecuali ada dalil yang melarangnya. 
.
Sebagai contoh, manusia memiliki fitrah mencintai tanah air. Islam dalam hal ini juga mendukung itu sebagaimana Rasulullah SAW juga sangat mencintai makkah tempat lahirnya. Maka manusia boleh membuat peraturan dengan landasan cinta tanah air. Tapi rasa cinta tanah air yang seharusnya baik, bisa berubah menjadi chauvanisme dan rasialisme. Disini kemudian Al-Qur’an datang dengan kaidah ‘semua manusia sama, yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertaqwa’. Maka manusia harus berhenti pada batasan tidak boleh sampai merendahkan manusia lain.
.
Contoh lain, Islam mendorong umatnya untuk mencari harta dan nafkah. Maka silahkan manusia membuat ikhtiar dalam mencari nafkah. Tapi islam memberi batasan dengan larangan tidak menimbun harta, melakukan monopoli, memakan riba, dan juga tidak melupakan kaum miskin dan masyarakat yang membutuhkan. Maka ini adalah batasan yang tidak boleh dilangkahi manusia karena akan merusak diri mereka sendiri.
.
Maka dari itu, bukanlah Al-Qur’an akan mengekang manusia dari kebebasannya. Tetapi Al-Qur’an memberikan point of reference yang jelas sampai dimana kebebasan itu boleh dilakukan. Dan itulah yang sebenarnya dibutuhkan dunia saat ini.
.
Kemudian muncul pertanyaan lain, jika memang acuan terhadap nilai itu diperlukan. Mengapa harus Islam? Kenapa bukan agama lain. Untuk cakupan Indonesia jawabannya sudah sangat jelas, karena Islam adalah agama mayoritas dan semangatnya sudah mendarah daging di bumi Indonesia ini. Bisa dilihat dari pernyataan Bung Tomo, “jikalau bukan dengan kalimat Allahu Akbar, aku tidak tahu dengan kalimat apa aku bisa membangkitkan semangat anak-anak muda ini.” Itu menunjukkan bagaimana Islam begitu mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. 
.
Namun jika konteksnya adalah dunia, maka perlu diperbandingkan antar agama untuk mencari mana yang lebih tepat untuk menjawab tantangan zaman. Tapi saya yakin (dan ini hak saya untuk yakin karena saya seorang muslim) bahwa Islam tetap akan unggul dan paling relevan dengan keadaan zaman now.

(dibuat untuk khutbah di masjid At Taubah 1 Juni 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar