Senin, 22 Agustus 2016

Ghibahin Ustad Arif dan Anaknya


Psstt, kali ini saya ingin ghibahin ustadz. Jangan bilang-bilang ya, dan semoga saya tidak kualat karena ghibahin ustadz pembina saya sendiri. Aamiin (choire)
                Selama setahun belakangan dan setahun ke depan saya tinggal di Lembaga Pendidikan Insani, atau disingkat LPI (teman-teman saya suka memplesetkannya dengan Liga Pendidikan Indonesia). Bersama 13 teman lainnya, kami mondok di LPI dan mendapatkan berbagai pembinaan yang diberikan. Namun sesungguhnya ilmu yang paling besar yang saya rasakan adalah dapat belajar hidup dan mengenai kehidupan, terlebih-lebih dengan ustad Arif Rif’an, pembina kami di asrama LPI ini.
                Ustad Arif memiliki dua orang anak, yaitu Arsyad dan Akhtar. Kami para santri LPI sudah lazim jika pada saat selesai Shalat, Arsyad atau Akhtar langsung menghampiri Ustad Arif yang masih berzikir di tempat imam. Pernah pula pada suatu malam saat sedang mengisi kultum tarawih, Arsyad dengan manjanya menarik-narik baju ustad, untuk kemudian meminta ustad mendengarkannya hendak membisikkan sesuatu. Kami yang sedang mendengarkan kultum tersebut hanya bisa tersenyum geli  dan geleng-geleng kepala melihat momen tersebut. Namun meskipun begitu, tidak pernah sekalipun saya lihat ustad memarahi kedua anaknya jika bersikap begitu.

                Jujur saya terkadang suka bingung dengan kesabaran orang jawa dalam menghadapi anak. Sebagai anak laki-laki yang dibesarkan dalam masyarakat Batak, saya dididik dengan tegas. Jika saya berbuat salah atau melakukan hal-hal yang tidak baik saat saya kecil, orang tua saya tidak segan-segan menghentikan, menghukum, atau mendiamkan saya. Pada saat saya memasuki umur 10 tahun misalnya, ayah saya tidak segan melibas kaki saya dengan ikat pinggang (meskipun tidak sakit, karena libasannya sangat pelan) jika saya tidak mau bangun untuk shalat shubuh. Saya juga masih ingat saat tangan saya dipukul karena orang tua saya mengetahui bahwa saya menjahili teman saya hingga menangis.
Bagi kami masyarakat Batak, hal itu adalah biasa. Oleh karena itu kami sebagai anak-anak merasa mafhum jika orang tua kami mendidik kami dengan keras. Dengan begitu kami bisa langsung mengetahui mana yang salah dan mana yang benar. Dan saya bersyukur, selalu bersyukur diberikan Allah pendidikan seperti itu. Hal tersebut berperan besar dalam pembentukan karakter masyarakat Batak.
                Akan tetapi cara bagaimana ustad Arif mendidik anak-anaknya memberikan sebuah pandangan baru tersendiri bagi saya. Bagaimana beliau dengan sabar memberitahu anaknya mana yang baik dan mana yang benar. Cara beliau rela menghentikan kultumnya sejenak, hanya untuk mendengarkan anaknya berbisik, yang saya kira tidak lebih dari masalah permintaan coklat atau mainan.
Bahkan beliau selalu menyempatkan waktunya sehabis subuh dan magrib untuk membaca Al-Qur’an di tempat yang sama dan di waktu yang sama setiap harinya, di depan anak-anaknya. “Agar kelak Arsyad dan Akhtar mengingat bahwa ayahnya selalu membaca Al-Qur’an di waktu-waktu seperti ini dan mereka menirunya,” kata ustad Arif pada suatu waktu.
Dari ustad Arif saya belajar, bahwa pendidikan kepada anak dapat diberikan secara lemah lembut hingga anak tersebut paham. Serta pendidikan dengan contoh oleh orang tua adalah pendidikan terbaik bagi anak. 

Sembari menyeruput kopi panas di malam ini, saya berdoa semoga besok pagi tidak kesiangan untuk salat subuh sehingga ditegur dan disindir ustad Arif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar