Psstt, kali
ini saya ingin ghibahin ustadz. Jangan bilang-bilang ya, dan semoga saya tidak
kualat karena ghibahin ustadz pembina saya sendiri. Aamiin (choire)
Selama
setahun belakangan dan setahun ke depan saya tinggal di Lembaga Pendidikan
Insani, atau disingkat LPI (teman-teman saya suka memplesetkannya dengan Liga
Pendidikan Indonesia). Bersama 13 teman lainnya, kami mondok di LPI dan
mendapatkan berbagai pembinaan yang diberikan. Namun sesungguhnya ilmu yang
paling besar yang saya rasakan adalah dapat belajar hidup dan mengenai
kehidupan, terlebih-lebih dengan ustad Arif Rif’an, pembina kami di asrama LPI
ini.
Ustad
Arif memiliki dua orang anak, yaitu Arsyad dan Akhtar. Kami para santri LPI
sudah lazim jika pada saat selesai Shalat, Arsyad atau Akhtar langsung
menghampiri Ustad Arif yang masih berzikir di tempat imam. Pernah pula pada
suatu malam saat sedang mengisi kultum tarawih, Arsyad dengan manjanya menarik-narik
baju ustad, untuk kemudian meminta ustad mendengarkannya hendak membisikkan
sesuatu. Kami yang sedang mendengarkan kultum tersebut hanya bisa tersenyum
geli dan geleng-geleng kepala melihat
momen tersebut. Namun meskipun begitu, tidak pernah sekalipun saya lihat ustad
memarahi kedua anaknya jika bersikap begitu.
Jujur
saya terkadang suka bingung dengan kesabaran orang jawa dalam menghadapi anak.
Sebagai anak laki-laki yang dibesarkan dalam masyarakat Batak, saya dididik
dengan tegas. Jika saya berbuat salah atau melakukan hal-hal yang tidak baik
saat saya kecil, orang tua saya tidak segan-segan menghentikan, menghukum, atau
mendiamkan saya. Pada saat saya memasuki umur 10 tahun misalnya, ayah saya
tidak segan melibas kaki saya dengan ikat pinggang (meskipun tidak sakit,
karena libasannya sangat pelan) jika saya tidak mau bangun untuk shalat shubuh.
Saya juga masih ingat saat tangan saya dipukul karena orang tua saya mengetahui
bahwa saya menjahili teman saya hingga menangis.
Bagi kami
masyarakat Batak, hal itu adalah biasa. Oleh karena itu kami sebagai anak-anak
merasa mafhum jika orang tua kami mendidik kami dengan keras. Dengan begitu
kami bisa langsung mengetahui mana yang salah dan mana yang benar. Dan saya
bersyukur, selalu bersyukur diberikan Allah pendidikan seperti itu. Hal
tersebut berperan besar dalam pembentukan karakter masyarakat Batak.
Akan
tetapi cara bagaimana ustad Arif mendidik anak-anaknya memberikan sebuah
pandangan baru tersendiri bagi saya. Bagaimana beliau dengan sabar memberitahu
anaknya mana yang baik dan mana yang benar. Cara beliau rela menghentikan
kultumnya sejenak, hanya untuk mendengarkan anaknya berbisik, yang saya kira
tidak lebih dari masalah permintaan coklat atau mainan.
Bahkan beliau
selalu menyempatkan waktunya sehabis subuh dan magrib untuk membaca Al-Qur’an
di tempat yang sama dan di waktu yang sama setiap harinya, di depan anak-anaknya.
“Agar kelak Arsyad dan Akhtar mengingat bahwa ayahnya selalu membaca Al-Qur’an
di waktu-waktu seperti ini dan mereka menirunya,” kata ustad Arif pada suatu
waktu.
Dari ustad
Arif saya belajar, bahwa pendidikan kepada anak dapat diberikan secara lemah
lembut hingga anak tersebut paham. Serta pendidikan dengan contoh oleh orang
tua adalah pendidikan terbaik bagi anak.
Sembari
menyeruput kopi panas di malam ini, saya berdoa semoga besok pagi tidak
kesiangan untuk salat subuh sehingga ditegur dan disindir ustad Arif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar